Oleh Wiwin Wintarsih
SMPN 2 Tanjungsiang
Inong menghentikan suapan, kala matanya tertumbuk pada puncak Tangkubanperahu yang tampak jelas dari tempatnya duduk. Tenggorokannya seperti tercekat. Ia tak mampu lagi meneruskan sarapan. Ditinggalkannya meja makan mungil itu. Kemudian dengan langkah gontai ia menuju mobilnya.
Kantor masih sangat sepi. Inong menyalakan komputer pribadinya. Memeriksa beberapa pekerjaan dan agenda hari itu. Kemudian meninggalkan meja kerjanya. Tak lupa ia matikan ponselnya.
City car putih itu bergerak perlahan, lincah menerebos padatnya arus lalu lintas. Mencoba melepaskan diri dari hiruk pikuk hutan beton. Terus melaju ke luar kota. Kehijauan perkebunan teh memanjakan mata Inong. Ia membuka kaca jendela mobil lebar-lebar. Dihirupnya aroma segar itu sepuasnya.
Inong menghentikan mobilnya tepat di bibir kawah. Ia tidak berniat ke luar dari mobil. Matanya terpejam, perlahan ada bulir-bulir air bening menuruni pipinya yang halus. Ia tidak berusaha menghapusnya. Perempuan semampai itu asyik dengan pikiran dan perasaannya. Ia turutkan saja, tak hendak mengendalikannya. Membiarkannya mengembara di padang kenangan.
“Kamu gak apa-apa?” suara bass itu menyadarkan Inong. Sambil mengusap pipi, ia membuka matanya perlahan. Lalu membetulkan posisi duduknya. Tanpa melihat pun ia tahu siapa yang menyapanya.
“Kenapa kamu ada di sini?” dibanding menjawab pertanyaan, Inong malah balik bertanya.
“Aku mau mengitari kawah, ikut?” tanpa menunggu jawaban lelaki bertubuh atletis itu pergi menjauh. Tinggallah Inong dengan hati dan pikirannya sendiri. Tanpa disadarinya Inong berjalan mengikuti lelaki itu.
Dari jauh Inong melihat lelaki berambut cepak itu berdiri di sebuah batu besar di bibir kawah. Napas Inong berhenti sesaat. Tubuhnya bergetar, de javu! Inong sampai harus berpegangan pada sebatang pohon untuk menopang tubuhnya yang oleng.
“Akankah kamu terus menghukum diri sendiri, meski itu bukan kesalahanmu?” suara bass itu begitu dekat di telinga Inong.
“Sudah saatnya kamu melepaskan semuanya. Merelakan kepergiannya. Berhenti menghukum diri sendiri untuk hal yang tidak kamu lakukan. Itu bukan kesalahanmu!” suara itu kini terdengar tegas dan bergetar. Cengkeraman tangan pemilik suara itu terasa sakit di pangkal lengan Inong. Ia meringis seiring tangis nan mengiris hati.
“Seharusnya dia masih ada jika saja waktu itu aku tidak memintanya untuk mengambil bunga di bibir tebing,” tangis Inong pecah di sela semilir angin lembah.
Tepukan lembut di punggung, perlahan menyurutkan air mata Inong. Kata-kata bijak yang tidak menghakimi memberi rasa nyaman di hatinya.
Lelaki yang selalu menemukan di mana pun Inong bersembunyi. Kini selalu ada
untuknya, meski Inong tidak memintanya. Dia yang tidak pernah lelah membangkitkan kesadarannya, selalu menyediakan bahu untuk bersandar.
“Mungkinkah ini lelaki yang dikirim untukku? Untuk membalut semua luka. Yang datang membawa musim bunga dalam tatapannya. Pantaskah aku mengabaikannya?” bisik Inong pada hatinya, pada pikirannya.
keren cerpennya bu,,,lanjutkan
SukaSuka
Terima kasih bu….
SukaSuka